Dari kuli panggul sayur-mayur di Pasar Senen, Sumarna banyak belajar
tentang berbisnis sayur. Dari sana pula dia mencoba peruntungan dengan
berani membuka lapak sayur sendiri. Dari cabai, omzet Sumarna kini Rp 3
miliar per bulan.
Tidak pernah ada yang menyangka jika lelaki
paruh baya bernama Sumarna, pemilik kios di Pasar Induk Kramat Jati,
Jakarta Timur, itu seorang pebisnis ulung beromzet miliaran rupiah.
Bisnisnya sih hanya dari berdagang cabai dan sayuran di Pasar Induk.
Namun, jangan salah, dari bisnis ini ratusan juta rupiah saban hari
mengalir ke kantong Sumarna.
Dari kios kecilnya yang ia beri nama
Murah Rezeki, Sumarna mampu menjual 1,5 ton cabai merah, 2,5 ton cabai
rawit, dan 6 ton bawang per hari. Saat ini harga cabai merah sekitar
Rp 25.000 per kilogram (kg), cabai rawit Rp 12.000 per kg, dan tomat Rp
4.500 per kg.
Dari penjualan itu, kini omzet yang dikantongi
Sumarna setiap hari mencapai Rp 107 juta atau sekitar Rp 3 miliar per
bulan. Dari situ, ia mengaku mendapatkan laba bersih 5 persen-10 persen.
"Saya ambil untung bersih dari tomat bisa Rp 500 per kg, dan cabai
sekitar Rp 1.000 per kg hingga Rp 2.000 per kg," ujarnya.
Tak
mudah bagi Sumarna membesarkan usahanya itu. Sudah puluhan tahun, ia
merintis bisnis ini hingga sebesar sekarang. Semua ini bermula pada
awal tahun 1960-an, saat Sumarna merantau dari kampungnya di Serang,
Banten, ke Jakarta. Tanpa bekal, ia merantau ke Jakarta. Pilihannya,
bekerja serabutan.
Selain menjadi pelayan, ia juga sekaligus
menjadi kuli panggul sayuran di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Lima tahun
pekerjaan ini ia lakoni. Meski penghasilan mepet, Sumarna pandai
menabung. Maklum, ia bertekad tidak mau seterusnya menggantungkan hidup
sebagai kuli panggul. Merasa tabungannya cukup, Sumarna pun berani
membuka lapak sendiri dengan memilih berdagang cabai.
Sumarna
mengatakan, pekerjaan sebagai pelayan dan kuli panggul sangat
membantunya ketika merintis bisnis ini. Dari sana, ia belajar memperoleh
pasokan, dan menjalin relasi dengan pembeli dan pengepul sayur-mayur.
Perlahan, usaha berdagang cabai Sumarna mulai berkembang. Setelah lima
tahun berdagang di Pasar Senen, sekitar tahun 1970, Sumarna memutuskan
pindah lapak ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.
Di
tempat baru, Sumarna merintis usaha dari nol lagi. "Waktu saya buka di
sana, modal saya hanya keberanian, kejujuran, serta kepercayaan dari
pelanggan maupun pemasok barang," kata pria yang telah dikaruniai empat
anak dan enam cucu ini.
Namun, berkat pergaulannya yang luwes,
terutama dengan para pemasok dan pembeli, bisnis Sumarna terus
membesar. Saat ini pasokan cabai, tomat, dan bawang ia peroleh dari
Garut, Sukabumi, Padang, serta Bengkulu. Ia pun kini menjadi langganan
tetap para pedagang berbagai pasar tradisional di Jakarta dan
sekitarnya.
Dari berdagang cabai, Sumarna memiliki empat kios di
Blok H Pasar Induk Kramat Jati. Satu kios ia gunakan sendiri untuk
berdagang, sisanya disewakan ke pedagang lain. "Satu kios saya sewakan
Rp 2 juta per bulan," imbuhnya.
Hasil keuntungan berjualan
cabai ia putar untuk membeli tanah dan membeli angkutan kota. "Hasil
dagang mesti pandai menyimpan. Dagang harus jujur dan jangan ijo kalau lihat duit," ujarnya.
Bak
roda yang selalu berputar, bisnis Sumarna kerap mengalami pasang
surut. Ia sukses membesarkan usahanya saat memutuskan pindah lokasi
berjualan ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, pada tahun 1970.
Pemilik kios Murah Rezeki ini terbantu berkat hubungan baiknya dengan
relasi, seperti pelanggan maupun para pemasok dari Pasar Senen, Jakarta
Pusat, lokasi kiosnya dahulu.
Dalam waktu singkat, usahanya
dari berjualan cabai merah, cabai rawit, serta tomat di pasar induk
makin berkibar. Ia pun berhasil melunasi cicilan kiosnya hanya dalam
jangka waktu tujuh tahun. Selama sepuluh tahun berjualan, langganan
tetap Sumarna adalah para pedagang pasar tradisional di Jakarta. Pada
tahun 1980-an, komoditas dagangannya mulai merambah pusat perbelanjaan
modern, seperti supermarket.
Pada awalnya, ekspansi ke pasar
swalayan itu berjalan lancar. Bahkan, dapat memperbesar pemasukannya.
Namun, setelah sepuluh tahun berjalan, penjualannya di pasar modern
merosot. Bahkan, Sumarna sempat merugi ratusan juta lantaran barang
yang rusak tidak diganti pihak swalayan. "Lama-kelamaan saya merugi
karena mereka ambil barang dulu baru bayar," ujarnya.
Akhirnya,
pada tahun 1990, Sumarna memutuskan berhenti memasok pasar modern.
Untungnya, penjualan Sumarna di pasar induk tetap berjalan normal. Di
pasar induk ini, ia tetap menjadi langganan para pedagang pasar
tradisional di Jakarta dan sekitarnya, seperti Pasar Cengkareng, Pasar
Jembatan Dua, dan Pasar Pesing.
Dari situ keuntungan tetap
mengalir ke kantong Sumarna. Sebagian besar laba jualan itu ditabungnya
di bank. Dari hasil jerih payahnya, jumlah tabungannya mencapai
miliaran rupiah. Namun, cobaan kembali menghampirinya. "Duit saya
dikorupsi lima karyawan saya yang tidak jujur," ungkap dia penuh sesal.
Sumarna
bercerita, penggembosan tabungan dilakukan secara bertahap sejak pada
akhir tahun 2010. Pertengahan tahun 2011 ia baru menyadari tabungannya
berisi Rp 1,8 miliar ludes dicuri pegawainya. Modus penilapan uang oleh
karyawannya sangat merugikan Sumarna. Misalnya, dari pasokan 10 kg
tomat, karyawannya hanya membayar ke pemasok sebanyak 3 kg. Kejadian
itu berlangsung selama sekitar enam bulan. Tahu-tahu tagihan pembayaran
dari pemasok menggelembung. "Jadi tanpa sadar, saya harus membayar
pasokan barang sebanyak dua kali," ujarnya.
Sadar telah
tertipu, Sumarna langsung memecat kelima karyawannya. "Biarlah, saya
hanya bisa menangis di batin saja dan tetap bertahan," kata dia.
Sebagai
seorang pebisnis, Sumarna memiliki jiwa pantang menyerah. Kendati
pernah nyaris bangkrut ketika ditipu karyawannya, ia tidak patah arang.
Setelah ditipu karyawannya hingga miliaran rupiah, Sumarna sempat
jatuh terpuruk. Usaha yang telah dirintisnya selama puluhan tahun
nyaris bangkrut. Hampir saja ia berputus asa. "Saat itu modal saya
habis, saya sangat syok dan ingin berhenti berdagang," kenang Sumarna.
Namun,
berkat dorongan para kolega dan keluarga, Sumarna pun mencoba bangkit
kembali. Lantaran sudah mempunyai jiwa dagang sejak muda, tidak butuh
waktu lama baginya untuk mengobarkan lagi semangat wirausahanya. Saat
kembali mencoba bangkit, langkah pertama yang dilakukannya adalah
memecat lima karyawannya yang diduga melakukan penipuan.
Agar
kejadian serupa tidak terulang lagi, ia merekrut karyawan dari kerabat
sendiri. "Saya merekrut saudara dari kampung halaman," kata pria asli
Serang, Banten, ini.
Untuk menambah modal berjualan, Sumarna
melego sebidang tanah miliknya seharga Rp 185 juta. Berkat keuletannya,
selang enam bulan dari kasus penipuan, kondisi permodalan usahanya
berangsur stabil. Alhasil, stok sayuran di kiosnya tetap tersedia dalam
jumlah memadai. Tak heran bila kiosnya tetap diburu pelanggan dari
kalangan pedagang pasar tradisional di Jabodetabek. Saat ini ia mampu
melayani penjualan sekitar 1,5 ton cabai merah, 2,5 ton cabai rawit,
dan 6 ton tomat per hari.
Dari penjualan sebanyak itu, omzet
mengalir ke kantongnya mencapai Rp 107 juta per hari atau Rp 3 miliar
dalam sebulan. Kendati usahanya kini semakin membaik, Sumarna belum
berencana melakukan ekspansi usaha dan menambah gerai penjualan cabai.
Alasannya, usianya kini sudah tidak lagi muda. "Kalau umur saya masih
muda mungkin saja ada pemikiran untuk membuka cabang lagi," jelas dia. (Noverius Laoli/Kontan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar