KOMPAS.com - Usianya baru 25 tahun. Pendidikan terakhirnya pun hanya madrasah aliyah. Namun, panggilan dokter ”endog” alias dokter telur telah melekat kepada Kemaludin, warga Kampung Sukahurip, Desa Sinagar, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasiennya adalah ratusan penetas telur bebek, peternak bebek, dan petugas dinas peternakan di Tasikmalaya.
Sejak tahun 2009, Kemaludin bak pelita bagi siapa pun yang ingin menetaskan telur bebek. Beragam pertanyaan tentang penetasan telur bebek dijawabnya dengan senang hati, tanpa bayaran. Warung makan, pos ronda, rumah warga, dan tempat tinggalnya sendiri kerap menjadi ruang kelas. Biasanya, ia membawa alat pemeriksaan telur yang dibuat sendiri. Alat itu terbuat dari lampu neon 10 watt yang dibalut kertas tebal.
Kemaludin mengatakan, ada beberapa hal penting yang selalu ia tekankan untuk memeriksa telur. Hal itu di antaranya menjaga suhu ideal 36-37 derajat celsius, disiplin waktu pemeriksaan telur, serta cara melatih sensor hidung dan tangan untuk memeriksa apakah ada telur busuk atau tidak.
Pendampingan itu tidak sia-sia. Sendirian menetaskan telur tiga tahun lalu, kini sekitar 200 warga Sukaratu menekuni bidang ini. Ibu rumah tangga, pemuda pengangguran, dan buruh berpenghasilan minim sudah menikmati keuntungan dari usaha penetasan telur.
”Satu orang minimal menetaskan 300 telur per bulan dengan modal sekitar Rp 1,5 juta. Setelah dijual, biasanya penetas telur bisa mendapatkan keuntungan Rp 500.000- Rp 600.000 per bulan,” ujar Kemaludin.
Minim modal
Persinggungan Kemaludin dengan penetasan telur dipengaruhi ketiadaan biaya melanjutkan sekolah. Setelah memutuskan bekerja selama tiga tahun di Samarinda, Depok, dan Jakarta, Kemaludin melihat peternak bebek Sukaratu kerap kesulitan mendapatkan anakan. Peternak harus membeli anak bebek ke kecamatan lain di Kabupaten Tasikmalaya, bahkan hingga ke Kota Tasikmalaya.
”Dari situ saya pikir, peluang itu bisa saya manfaatkan. Modal nekat karena sebenarnya terbentur biaya dan pengetahuan penetasan telur bebek,” katanya.
Akhir tahun 2008, Kemaludin pun mulai mempersiapkan amunisinya. Berbekal uang tabungan Rp 500.000, ia membeli buku mengenai penetasan telur, bertanya kepada peternak bebek setempat, dan survei harga ke pedagang telur dan anakan bebek. Saat itu, kendala terbesarnya adalah kebutuhan akan media penetasan. Bila membeli peralatan penetasan buatan pabrik, dibutuhkan modal Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per unit. Jumlah tersebut tidaklah mungkin ia dapatkan saat itu.
Otaknya dipaksa berpikir. Hingga suatu waktu ia melihat lemari baju pakaian milik saudaranya yang tak terpakai lagi. Dia pun berkreasi dengan alat yang ada. Dengan menambahkan tiga lampu berkekuatan 5 watt dan termometer, Kemaludin mengubah lemari itu menjadi media penetasan darurat dengan kapasitas 300 butir telur.
Awalnya, metode itu tidak berjalan semulus harapan. Setelah 28 hari masa penetasan, hanya 100 telur dari 200 telur yang menetas. Sisanya busuk dan tidak menetas. Penyebabnya, listrik yang sering putus di Sukaratu. Dalam sehari, listrik bisa padam berjam-jam tanpa sebab pasti. Akibatnya, telur tak mendapatkan suhu hangat ideal sehingga memicu kematian janin.
”Telur mati atau busuk harus segera disingkirkan karena berbahaya merusak telur lain. Gas amoniak dari telur busuk bisa menular pada telur lainnya,” katanya.
Untuk mengatasi masalah putus sambung listrik, Kemaludin berinovasi dengan minyak jelantah. Diletakkan di bawah media penetasan, pemanas berbahan bakar minyak jelantah menjadi bahan bakar alternatif penghangat telur. Hasilnya memuaskan. Saat listrik putus, telur mendapat kehangatan dari api berbahan minyak jelantah. ”Tingkat kegagalan penetasan telur bisa ditekan menjadi 2-3 persen,” katanya.
Pemuda pelopor
Perlahan, jumlah telur yang ditetaskan semakin banyak dan memberikan keuntungan ekonomi lebih besar. Keuntungannya, digunakan untuk membuat media penetasan baru. Pengembangan teknis dilakukan untuk memaksimalkan hasil penetasan.
Dia pun kemudian memodifikasi media penetasan ala lemari baju itu. Kemaludin membuat lemari kayu khusus tingkat empat berukuran 124 x 70 x 60 sentimeter. Lemari dengan dimensi seperti itu mampu menampung 500-600 telur. Media penetasan baru itu dilengkapi lima lampu berkekuatan 5 watt, termometer, pemutus arus bila suhu terlalu tinggi, dan higrometer untuk mengukur kelembaban media penetasan.
Telur yang ditetaskan bertambah banyak. Dalam sebulan, ia bisa menetaskan 5.000 telur dengan omzet Rp 15 juta per bulan. Bebek hasil penetasan berusia 2-3 hari dijual Rp 6.500 per ekor untuk betina dan Rp 2.500 per ekor untuk jantan. Nyaris tidak ada yang tersisa karena sebelum menetas, telur sudah dipesan peternak bebek.
”Pernah ada pesanan dari perusahaan katering maskapai penerbangan terbesar di Indonesia. Mereka meminta 1.000 bebek per hari. Terpaksa ditolak karena kami belum mampu menyediakan,” kata Kemaludin.
Keberhasilannya memutar otak dan memberdayakan masyarakat sekitar menimbulkan pengakuan positif. Inovasi pembuatan alat tetas sederhana membawanya merengkuh Pemuda Pelopor Kabupaten Tasikmalaya dan Jawa Barat pada tahun 2011 di bidang teknologi tepat guna. Ia menyisihkan karya pemuda lain bermodal puluhan kali lebih besar.
Akan tetapi, Kemaludin mengatakan tidak mau tinggi hati. Lewat Kelompok Penetasan Unggas Jaya Mekar Sukaratu yang digagas bersama teman-temannya, ia mengajak pemuda desa yang tak bekerja dan berpenghasilan minim untuk usaha menetaskan telur. Satu media penetasan dihibahkan untuk digunakan semua anggota.
”Sekarang baru ada satu media tetas yang diputar bergiliran sebulan sekali kepada 30 anggota. Prioritas diberikan bagi yang belum punya media penetasan. Kalau sudah ada uang, saya ingin buat beberapa lagi,” katanya.
Selain itu, ia juga masih belajar tentang peningkatan nilai ekonomi telur bebek, seperti mengolahnya menjadi makanan olahan dan pembesaran bebek.
”Banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Semoga di tengah keterbatasan modal, kami bisa terus berinovasi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat,” kata Kemaludin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar