MAU SUKSES!! BUKAN BASA-BASI & DAHSYAT.. .....

Rabu, 14 Juni 2017

Inspiratif Soejanto Widjaja pendiri pers SEPEDA POLYGON



Hasil gambar untuk Bapak Soejanto Widjaja sepeda polygon

Pada Tahun 1989 Bapak Soejanto Widjaja, sering di panggil Ko Yanto adalah pendiri dan pemilik Pt. Insera Sena. Sejak berdiri, Pt. Insera Sena sudah membuat sepeda kelas dunia seperti Kuwahara, Mustang, Avanti, Kona, Marin, Scott dll... Sepeda-sepeda itu pesanan untuk diekspor ke negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman.
Hasil gambar untuk sepeda polygon
   Baru pada tahun 1997, Pt. Insera Sena membuat sepeda dengan merek Polygon untuk pemasaran Nasional Indonesia, dan Regional export ke Malaysia, Singapura, Australia. Saat itu ada Sepeda Polygon Tango, Quatro, Vector, Lerun, Siera, dll... dan sampai sekarang ada kita maklumi Sepeda Polygon Premier, Xtrada, Collosus, Heist, Hellios, dll...
   Dan pada tahun 2014 Polygon buka kantor showroom cabang nya di California, USA. Disana para pengunjung terlihat antusias dengan Polygon Bikes. Respon media dan juga masyarakat pesepeda umum sangat baik dan sangat bersemangat juga karena dikejutkan dengan sepeda All Mountain bertravel 160mm si Polygon Collosus N9 Carbon Enduro All Mountain yang kelihatan murah tapi tidak murahan... All Mountain Bikes Best Buy Of The Year 2014-2015 in USA.
Setelah posisinya kuat di dalam negeri, Polygon membangun mereknya di dunia dan 62 negara telah dirambahnya. Bagaimana strategi menggarap pasar dalam dan luar negeri?
Di Indonesia, siapa yang tak kenal merek sepeda Polygon yang diproduksi PT Insera Sena. Sepeda asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah menjadi merek sepeda nasional ini cukup menguasai pasar. Polygon mampu bersaing di tengah gempuran sepeda-sepeda merek dunia yang membanjiri negeri ini. Menurut data PT Dispoly Indonesia, pangsa pasar Polygon saat ini mencapai 60% di kategori sepeda gaya hidup (life-style bike).
Keberhasilan Polygon menembus pasar dalam dan luar negeri antara lain karena konsistensinya dalam produksi. Sejak awal Polygon memang dibuat sebagai produk gaya hidup, bukan sekadar alat transportasi. Hal ini juga dinyatakan Soejanto Widjaja, pendiri dan pemilik Insera Sena. “Memang itulah tujuan Polygon dibuat sejak awal kami mendirikannya tahun 1989,” ujarnya. Maka, dari awal pula, Polygon tidak sembarangan menentukan desain, varian, kualitas ataupun harga. “Produk kami mampu bersaing dengan produk-produk dari luar negeri,” ujar Ronny Liyanto, Direktur Dispoly Indonesia , anak perusahaan Insera yang khusus memasarkan Polygon, yang harganya pun bersaing mulai dari Rp 1,2 juta hingga Rp 80 juta.

Keputusan menjadi produk gaya hidup sekaligus merupakan diferensiasinya dari pemain lokal lain yang sudah ada di Indonesia. “Itulah ceruk pasar yang belum banyak digarap saat itu,” demikian alasan Ronny. Soejanto menambahkan, jika diposisikan sebagai alat transportasi, sepeda Polygon akan kalah bersaing dengan moda transportasi lain seperti mobil dan sepeda motor, sehingga sepeda hanya akan selalu menjadi pilihan terakhir. Namun sebaliknya, karena diposisikan sebagai produk gaya hidup, Polygon bisa naik kelas menjadi produk first class.

Kebetulan pula pada saat Polygon dibuat, tren kesadaran akan transportasi ramah lingkungan sudah mulai menyeruak. Ini benar-benar menguntungkan sehingga Insera Sena tidak telalu sulit membuat desain sepeda yang mengusung gaya hidup. Apalagi, sejak berdiri, Insera sudah memproduksi sejumlah sepeda kelas dunia seperti Kuwahara, Mustang, Avanti, Kona, Marine dan Scott dengan skema original equipment manufacturer (OEM). Sepeda-sepeda itu kemudian diekspor ke negara asalnya. Sebanyak 99% produksi Insera diekspor, 60% di antaranya ke negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman.

Bersamaan dengan itu, Insera Sena belajar membuat sepeda berkualitas kelas dunia sambil menunggu pasar Indonesia siap. Nah, memasuki 1997, Insera mulai melirik dan menggarap pasar dalam negeri dengan membuat merek sendiri bernama Polygon. Keputusan Insera mulai menggarap pasar dalam negeri juga dipengaruhi prediksi menggeliatnya ekonomi Cina 10 tahun ke depan.

“Karena Cina akan berkembang pesat, kami harus prepare dengan punya market sendiri dan brand sendiri. Waktu itu ditetapkan Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia sebagai pasar regional dan Polygon dipilih sebagai mereknya. Dan sejak saat itu, step by step, kami membangun pasar dengan brand sendiri, dimulai dari Indonesia,” tutur Ronny yang juga Ketua IMA DKI Jakarta.

Memang bukanlah hal mudah memasarkan sepeda di tengah kondisi krisis ekonomi pada 1997. Apalagi, bicara soal gaya hidup di tengah kondisi kusut. Namun, tim Polygon tak mau menyerah. Hampir seluruh pelosok negeri disambangi untuk mencari mitra yang mau jadi dealer penjualan Polygon. Banyak yang menolak, tetapi ada juga yang mau diajak kerja sama. “Bayangkan waktu itu tahun 1999, sepeda Polygon dibanderol Rp 500 ribu per unit. Sementara sepeda yang sudah ada paling mahal Rp 200 ribu,” ungkap Ronny menceritakan tantangan yang dihadapi kala itu.

Rodalink Surabaya
Sejalan dengan upaya membangun merek sendiri, yaitu Polygon, Insera Sena juga membangun jaringan dealer sendiri, bernama Rodalink, di bawah CV Roda Lintas Khatulistiwa — anak perusahaan Insera. Rodalink hadir dengan mengusung konsep baru toko sepeda yang lebih modern. Jaringan gerai ini mulai dibangun di Surabaya, lalu Jakarta, Balikpapan hingga Singapura yang mulai dirambah pada 1998. Sekarang ada 48 gerai, termasuk lima gerai di Malasyia dan lima gerai lagi di Singapura. Di Rodalink juga dijual sepeda dan aksesori merek ternama dunia seperti Dahon, Marine dan Kona. “Rodalink itu nama store band kami, sedangkan Polygon brand produk kami,” ungkap Ronny yang bergabung dengan Polygon sejak 1999.

Untuk menjalankan misinya memproduksi sepeda sebagai gaya hidup, selain membuat pernik-pernik dan aksesori bersepeda, sejak 1999 Polygon rajin menggelar event bersepeda, serta pameran di mal dan Pekan Raja Jakarta (PRJ). Ronny mengenang, saat itu tak mudah menggelar pameran sepeda di mal karena dipandang sebelah mata. Tak mengherankan, banyak penolakan dari pengelola mal atau pameran. Mal pertama yang menerima Polygon berpameran adalah Mal Galaxy di Surabaya dan Mal Taman Anggrek di Jakarta. Hal yang sama juga dilakukan di Singapura dan Malaysia yang dirambah Insera sejak 2002.

Memang hingga saat ini, Polygon sangat rajin menggelar dan mensponsori event. Dalam setahun tak kurang dari 400 kegiatan. Santoso Lie, Head of Public Relations and Communication Dispoly Indonesia, mengatakan bahwa untuk mengelola event sebanyak itu, pihaknya sering menggandeng sejumlah komunitas dan polygoners (komunitas Polygon) yang jumlahnya ribuan di berbagai kota. Menggandeng komunitas menjadi salah satu nilai lebih Polygon dalam menggarap pelanggan, dan bisa diperbantukan dalam mengelola event sebanyak itu. “Kami menyeleksi ribuan proposal yang masuk yang mendukung visi dan misi Polygon,” katanya.

Selain menggarap event, Polygon pun rajin berpromosi lewat jalur above the line (ATL) dan below the line (BTL) serta media sosial yang memiliki tim sendiri. “Semua kami bidik untuk melakukan branding Polygon,” ungkap Santoso. Promo BTL dibagi dua: sosial (CSR) dan nonsosial. Contoh untuk sosial adalah memberikan dukungan dalam berbagai bentuk bagi komunitas, panti asuhan, pemerintah, dll. “Bentuk bantuannya bisa berupa pemberian atau pinjaman sepeda, tempat parkir atau gantungan sepeda. Bahkan, di berbagai hotel atau restoran hal tersebut juga sering kami lakukan,” kata Didik Suharsono, Head Promotion East Dispoly Indonesia, menambahkan.

Polygon juga rajin menggelar kompetisi. Yang akan terus dilakukan adalah kompetisi membuat desain sepeda yang penyelenggarannya bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. Untuk menjaring peserta dalam kompetisi tersebut pihaknya dan ITB sampai melakukan roadshow ke luar negeri seperti Jepang dan Malaysia. Tak mengherankan, peserta dalam kompetisi tersebut pun banyak yang dari luar negeri. Selain dari Jepang dan Malaysia, juga ada yang dari Singapura dan Jerman.

Apa yang dilakukan di Indonesia juga dilakukan Polygon di luar negeri untuk membangun mereknya. “Memang, saat ini Polygon sedang gencar-gencarnya membangung brand di luar negeri,” ujar Ronny. Hal itu dimulai dengan membangun gerai sepeda yang modern, perusahaan distribusi dan tim pemasarannnya. Strategi pemasarannya hampir sama dengan di dalam negeri. Hanya saja, intensitasnya tidak sesering di dalam negeri mengingat biaya yang dikeluarkan di luar negeri jauh lebih mahal.

Kendati promosi dan kegiatan yang dilakukan Polygon sangat banyak dan bervariasi, diakui Ronny dan Santoso, bujet promosinya tidaklah besar. “Ya 5% dari total penjualanlah,” tutur Ronny tanpa mau menyebut angkanya. Namun, sumber SWA menyebutkan, anggaran promosi Polygon bisa mencapai hampir Rp 10 miliar, dan selalu naik setiap tahun.

Lalu, dari semua aktivitas yang dilakukan itu, bagaimana kinerjanya? “Sales kami tumbuh 20% per tahun. Bahkan, di 2011 hampir 30%,” kata Ronny. Dari total sepeda yang diproduksi Insera Sena, sebanyak 65%-70%-nya diekspor dan sisanya untuk pasar dalam negeri. Di 2012, ditargetkan komposisinya bakal bergeser: 40% pasar dalam negeri dan 60% ekspor ke 62 negara. Yang diekspor bukan hanya merek Polygon, tetapi juga merek-merek pesanan pemain sepeda di luar negeri seperti Kona, Marine, Scott dan Mustang. Ekspor yang paling dominan (60%) adalah ke Eropa dan sisanya ke Amerika Serikat serta Asia.

Untuk meningkatkan kinerjanya, Insera Sena baru saja mengoperasikan pabrik barunya di Sidoarjo yang tak jauh dari pabrik pertama. Pabrik baru di atas lahan sekitar 10 hektare itu memiliki fasilitas tiga lantai. Tim SWA pun berkesempatan berkunjung ke pabrik baru tersebut yang terlihat modern dan memiliki kapasitas produksi yang lebih besar. “Produksi kami pada 2011 mencapai sekitar 600 ribu unit. Target kami di 2012 ini akan memproduksi 750 ribu unit,” ujar Mulyono, General Manager Pabrik Insera Sena.

Ditambahkan Ronny, dari total produknya yang dipasarkan di dalam dan luar negeri, 50%- nya atau sekitar 300 ribu unit adalah merek Polygon dengan berbagai varian produk dari harga jutaan sampai puluhan juta. “Yang paling laku yang berharga Rp 2-5 juta sekitar 60%,” katanya. Ia juga menyebutkan, di Indonesia total penjualan sepeda mencapai 6-7 juta unit per tahun. Namun, untuk kategori life-style bike baru 500-800 ribu unit per tahun. Nah, Polygon yang bermain di kategori sepeda gaya hidup menguasai segmen ini. “Di life-style bike, Polygon menguasai sekitar 60%,” ujarnya. Di Singapura dan Malaysia, Polygon juga menjadi penguasa segmen tersebut.

Agus W. Soehadi, guru besar Prasetiya Mulya Business School, menilai salah satu kekuatan strategi pemasaran Polygon adalah aktivitas pemasarannya fokus pada  constant engagement, tidak seperti umumnya perusahaan yang mengandalkan one-way communication. Artinya, Polygon secara aktif melakukan engagement dengan konsumen di mana pun mereka berada atau beraktivitas melalui pertautan asosiasi emosi antara merek dan nilai-nilai yang dipercaya oleh target konsumennya.
Sebagai contoh, Polygon bersama komunitas sepeda memperjuangkan bicycle lane agar pengguna sepeda bukan sebagai warga negara kelas empat setelah mobil, angkot dan motor. Atau, mereka bersama komunitas melobi pemerintah daerah demi memperjuangkan car free day. Semua kegiatan ini akan mempererat ikatan antara konsumen dan mereknya. “Hubungannya tidak sekadar pembeli dan penjual, tetapi brand tersebut dapat teman seperjuangannya, yakni konsumen,” Agus menegaskan.

Ia juga melihat apa yang dijalankan Polygon sudah tepat dalam mereplikasi strategi pemasarannya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagai contoh, bekerja sama dengan salah satu bank di Singapura dan Malaysia untuk mensponsori event yang terkait dengan kegiatan bersepeda. Dan satu hal lagi. “Pada dasarnya, Polygon memiliki kemampuan memproduksi sepeda dengan kualitas baik, karena selama ini mereka juga sebagai pemasok beberapa top brand sepeda di Eropa,” ungkapnya.
Nah, tantangan bagi Polygon saat ini adalah harus memperbanyak jenis medium yang digunakan untuk engage konsumennya. Tidak hanya mengandalkan nontradisional (street marketing through fun bike, kompetisi, dll.), tetapi juga mobile application yang berisikan aplikasi yang terkait dengan minat dan gaya hidup target pasarnya atau virtual activities melalui platform “second life”.

Pihak Polygon sendiri ke depan akan lebih fokus untuk meningkatkan kualitas produknya, bukan kuantitas. “Saat ini, kami tidak bicara kuantitas, tetapi lebih ke kualitas. Jadi, kami mengejar kesempurnaan sebuah sepeda, bukan jumlahnya,” ungkap Ronny. Hal ini dilakukan karena Polygon berambisi menjadi merek internasional yang memiliki kualitas produk kelas dunia. Selain memberikan perhatian penuh pada masalah kualitas produk, dalam waktu dekat Polygon juga akan membuka kantor cabangnya di AS (California) dan negara-negara Eropa sehingga akan lebih mudah menggarap pasar di tingkat global.(*)

1 komentar: