Pada Tahun 1989 Bapak Soejanto Widjaja, sering di panggil Ko
Yanto adalah pendiri dan pemilik Pt. Insera Sena. Sejak berdiri, Pt. Insera
Sena sudah membuat sepeda kelas dunia seperti Kuwahara, Mustang, Avanti, Kona,
Marin, Scott dll... Sepeda-sepeda itu pesanan untuk diekspor ke negara-negara Eropa
seperti Inggris dan Jerman.
Baru pada tahun 1997, Pt. Insera Sena membuat sepeda dengan merek Polygon untuk pemasaran Nasional Indonesia, dan Regional export ke Malaysia, Singapura, Australia. Saat itu ada Sepeda Polygon Tango, Quatro, Vector, Lerun, Siera, dll... dan sampai sekarang ada kita maklumi Sepeda Polygon Premier, Xtrada, Collosus, Heist, Hellios, dll...
Dan pada tahun 2014 Polygon buka kantor showroom cabang nya di California, USA. Disana para pengunjung terlihat antusias dengan Polygon Bikes. Respon media dan juga masyarakat pesepeda umum sangat baik dan sangat bersemangat juga karena dikejutkan dengan sepeda All Mountain bertravel 160mm si Polygon Collosus N9 Carbon Enduro All Mountain yang kelihatan murah tapi tidak murahan... All Mountain Bikes Best Buy Of The Year 2014-2015 in USA.
Setelah posisinya kuat di dalam
negeri, Polygon membangun mereknya di dunia dan 62 negara telah
dirambahnya. Bagaimana strategi menggarap pasar dalam dan luar negeri?
Di Indonesia, siapa yang tak kenal
merek sepeda Polygon yang diproduksi PT Insera Sena. Sepeda asal Sidoarjo, Jawa
Timur, yang telah menjadi merek sepeda nasional ini cukup menguasai pasar.
Polygon mampu bersaing di tengah gempuran sepeda-sepeda merek dunia yang
membanjiri negeri ini. Menurut data PT Dispoly Indonesia, pangsa pasar Polygon
saat ini mencapai 60% di kategori sepeda gaya hidup (life-style bike).
Keberhasilan Polygon menembus pasar
dalam dan luar negeri antara lain karena konsistensinya dalam produksi. Sejak
awal Polygon memang dibuat sebagai produk gaya hidup, bukan sekadar alat
transportasi. Hal ini juga dinyatakan Soejanto Widjaja, pendiri dan pemilik
Insera Sena. “Memang itulah tujuan Polygon dibuat sejak awal kami mendirikannya
tahun 1989,” ujarnya. Maka, dari awal pula, Polygon tidak sembarangan
menentukan desain, varian, kualitas ataupun harga. “Produk kami mampu bersaing
dengan produk-produk dari luar negeri,” ujar Ronny Liyanto, Direktur Dispoly
Indonesia , anak perusahaan Insera yang khusus memasarkan Polygon, yang harganya
pun bersaing mulai dari Rp 1,2 juta hingga Rp 80 juta.
Keputusan menjadi produk gaya hidup
sekaligus merupakan diferensiasinya dari pemain lokal lain yang sudah ada di
Indonesia. “Itulah ceruk pasar yang belum banyak digarap saat itu,” demikian alasan
Ronny. Soejanto menambahkan, jika diposisikan sebagai alat transportasi, sepeda
Polygon akan kalah bersaing dengan moda transportasi lain seperti mobil dan
sepeda motor, sehingga sepeda hanya akan selalu menjadi pilihan terakhir. Namun
sebaliknya, karena diposisikan sebagai produk gaya hidup, Polygon bisa naik
kelas menjadi produk first class.
Kebetulan pula pada saat Polygon
dibuat, tren kesadaran akan transportasi ramah lingkungan sudah mulai
menyeruak. Ini benar-benar menguntungkan sehingga Insera Sena tidak telalu
sulit membuat desain sepeda yang mengusung gaya hidup. Apalagi, sejak berdiri,
Insera sudah memproduksi sejumlah sepeda kelas dunia seperti Kuwahara, Mustang,
Avanti, Kona, Marine dan Scott dengan skema original equipment manufacturer
(OEM). Sepeda-sepeda itu kemudian diekspor ke negara asalnya. Sebanyak 99%
produksi Insera diekspor, 60% di antaranya ke negara-negara Eropa seperti
Inggris dan Jerman.
Bersamaan dengan itu, Insera Sena
belajar membuat sepeda berkualitas kelas dunia sambil menunggu pasar Indonesia
siap. Nah, memasuki 1997, Insera mulai melirik dan menggarap pasar dalam negeri
dengan membuat merek sendiri bernama Polygon. Keputusan Insera mulai menggarap
pasar dalam negeri juga dipengaruhi prediksi menggeliatnya ekonomi Cina 10
tahun ke depan.
“Karena Cina akan berkembang pesat,
kami harus prepare dengan punya market sendiri dan brand sendiri.
Waktu itu ditetapkan Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia sebagai pasar
regional dan Polygon dipilih sebagai mereknya. Dan sejak saat itu, step
by step, kami membangun pasar dengan brand sendiri, dimulai dari
Indonesia,” tutur Ronny yang juga Ketua IMA DKI Jakarta.
Memang bukanlah hal mudah memasarkan
sepeda di tengah kondisi krisis ekonomi pada 1997. Apalagi, bicara soal gaya
hidup di tengah kondisi kusut. Namun, tim Polygon tak mau menyerah. Hampir
seluruh pelosok negeri disambangi untuk mencari mitra yang mau jadi dealer
penjualan Polygon. Banyak yang menolak, tetapi ada juga yang mau diajak kerja sama.
“Bayangkan waktu itu tahun 1999, sepeda Polygon dibanderol Rp 500 ribu per
unit. Sementara sepeda yang sudah ada paling mahal Rp 200 ribu,” ungkap Ronny
menceritakan tantangan yang dihadapi kala itu.
Rodalink Surabaya
Sejalan dengan upaya membangun merek
sendiri, yaitu Polygon, Insera Sena juga membangun jaringan dealer
sendiri, bernama Rodalink, di bawah CV Roda Lintas Khatulistiwa — anak
perusahaan Insera. Rodalink hadir dengan mengusung konsep baru toko sepeda yang
lebih modern. Jaringan gerai ini mulai dibangun di Surabaya, lalu Jakarta,
Balikpapan hingga Singapura yang mulai dirambah pada 1998. Sekarang ada 48
gerai, termasuk lima gerai di Malasyia dan lima gerai lagi di Singapura. Di
Rodalink juga dijual sepeda dan aksesori merek ternama dunia seperti Dahon,
Marine dan Kona. “Rodalink itu nama store band kami, sedangkan Polygon brand
produk kami,” ungkap Ronny yang bergabung dengan Polygon sejak 1999.
Untuk menjalankan misinya
memproduksi sepeda sebagai gaya hidup, selain membuat pernik-pernik dan
aksesori bersepeda, sejak 1999 Polygon rajin menggelar event bersepeda,
serta pameran di mal dan Pekan Raja Jakarta (PRJ). Ronny mengenang, saat itu
tak mudah menggelar pameran sepeda di mal karena dipandang sebelah mata. Tak
mengherankan, banyak penolakan dari pengelola mal atau pameran. Mal pertama
yang menerima Polygon berpameran adalah Mal Galaxy di Surabaya dan Mal Taman
Anggrek di Jakarta. Hal yang sama juga dilakukan di Singapura dan Malaysia yang
dirambah Insera sejak 2002.
Memang hingga saat ini, Polygon
sangat rajin menggelar dan mensponsori event. Dalam setahun tak kurang
dari 400 kegiatan. Santoso Lie, Head of Public Relations and Communication
Dispoly Indonesia, mengatakan bahwa untuk mengelola event sebanyak itu,
pihaknya sering menggandeng sejumlah komunitas dan polygoners (komunitas
Polygon) yang jumlahnya ribuan di berbagai kota. Menggandeng komunitas menjadi
salah satu nilai lebih Polygon dalam menggarap pelanggan, dan bisa
diperbantukan dalam mengelola event sebanyak itu. “Kami menyeleksi
ribuan proposal yang masuk yang mendukung visi dan misi Polygon,” katanya.
Selain menggarap event,
Polygon pun rajin berpromosi lewat jalur above the line (ATL) dan below
the line (BTL) serta media sosial yang memiliki tim sendiri. “Semua kami
bidik untuk melakukan branding Polygon,” ungkap Santoso. Promo BTL
dibagi dua: sosial (CSR) dan nonsosial. Contoh untuk sosial adalah memberikan
dukungan dalam berbagai bentuk bagi komunitas, panti asuhan, pemerintah, dll.
“Bentuk bantuannya bisa berupa pemberian atau pinjaman sepeda, tempat parkir
atau gantungan sepeda. Bahkan, di berbagai hotel atau restoran hal tersebut
juga sering kami lakukan,” kata Didik Suharsono, Head Promotion East
Dispoly Indonesia, menambahkan.
Polygon juga rajin menggelar
kompetisi. Yang akan terus dilakukan adalah kompetisi membuat desain sepeda
yang penyelenggarannya bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. Untuk
menjaring peserta dalam kompetisi tersebut pihaknya dan ITB sampai melakukan roadshow
ke luar negeri seperti Jepang dan Malaysia. Tak mengherankan, peserta dalam
kompetisi tersebut pun banyak yang dari luar negeri. Selain dari Jepang dan
Malaysia, juga ada yang dari Singapura dan Jerman.
Apa yang dilakukan di Indonesia juga
dilakukan Polygon di luar negeri untuk membangun mereknya. “Memang, saat ini
Polygon sedang gencar-gencarnya membangung brand di luar negeri,” ujar
Ronny. Hal itu dimulai dengan membangun gerai sepeda yang modern, perusahaan
distribusi dan tim pemasarannnya. Strategi pemasarannya hampir sama dengan di
dalam negeri. Hanya saja, intensitasnya tidak sesering di dalam negeri
mengingat biaya yang dikeluarkan di luar negeri jauh lebih mahal.
Kendati promosi dan kegiatan yang
dilakukan Polygon sangat banyak dan bervariasi, diakui Ronny dan Santoso, bujet
promosinya tidaklah besar. “Ya 5% dari total penjualanlah,” tutur Ronny tanpa
mau menyebut angkanya. Namun, sumber SWA menyebutkan, anggaran promosi
Polygon bisa mencapai hampir Rp 10 miliar, dan selalu naik setiap tahun.
Lalu, dari semua aktivitas yang
dilakukan itu, bagaimana kinerjanya? “Sales kami tumbuh 20% per tahun.
Bahkan, di 2011 hampir 30%,” kata Ronny. Dari total sepeda yang diproduksi
Insera Sena, sebanyak 65%-70%-nya diekspor dan sisanya untuk pasar dalam
negeri. Di 2012, ditargetkan komposisinya bakal bergeser: 40% pasar dalam
negeri dan 60% ekspor ke 62 negara. Yang diekspor bukan hanya merek Polygon,
tetapi juga merek-merek pesanan pemain sepeda di luar negeri seperti Kona,
Marine, Scott dan Mustang. Ekspor yang paling dominan (60%) adalah ke Eropa dan
sisanya ke Amerika Serikat serta Asia.
Untuk meningkatkan kinerjanya,
Insera Sena baru saja mengoperasikan pabrik barunya di Sidoarjo yang tak jauh
dari pabrik pertama. Pabrik baru di atas lahan sekitar 10 hektare itu memiliki
fasilitas tiga lantai. Tim SWA pun berkesempatan berkunjung ke pabrik
baru tersebut yang terlihat modern dan memiliki kapasitas produksi yang lebih
besar. “Produksi kami pada 2011 mencapai sekitar 600 ribu unit. Target kami di 2012
ini akan memproduksi 750 ribu unit,” ujar Mulyono, General Manager
Pabrik Insera Sena.
Ditambahkan Ronny, dari total
produknya yang dipasarkan di dalam dan luar negeri, 50%- nya atau sekitar 300
ribu unit adalah merek Polygon dengan berbagai varian produk dari harga jutaan
sampai puluhan juta. “Yang paling laku yang berharga Rp 2-5 juta sekitar 60%,”
katanya. Ia juga menyebutkan, di Indonesia total penjualan sepeda mencapai 6-7
juta unit per tahun. Namun, untuk kategori life-style bike baru 500-800
ribu unit per tahun. Nah, Polygon yang bermain di kategori sepeda gaya hidup
menguasai segmen ini. “Di life-style bike, Polygon menguasai sekitar
60%,” ujarnya. Di Singapura dan Malaysia, Polygon juga menjadi penguasa segmen
tersebut.
Agus W. Soehadi, guru besar
Prasetiya Mulya Business School, menilai salah satu kekuatan strategi pemasaran
Polygon adalah aktivitas pemasarannya fokus pada constant engagement,
tidak seperti umumnya perusahaan yang mengandalkan one-way communication.
Artinya, Polygon secara aktif melakukan engagement dengan konsumen di
mana pun mereka berada atau beraktivitas melalui pertautan asosiasi emosi
antara merek dan nilai-nilai yang dipercaya oleh target konsumennya.
Sebagai contoh, Polygon bersama
komunitas sepeda memperjuangkan bicycle lane agar pengguna sepeda bukan
sebagai warga negara kelas empat setelah mobil, angkot dan motor. Atau, mereka
bersama komunitas melobi pemerintah daerah demi memperjuangkan car free day.
Semua kegiatan ini akan mempererat ikatan antara konsumen dan mereknya.
“Hubungannya tidak sekadar pembeli dan penjual, tetapi brand tersebut
dapat teman seperjuangannya, yakni konsumen,” Agus menegaskan.
Ia juga melihat apa yang dijalankan
Polygon sudah tepat dalam mereplikasi strategi pemasarannya, baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Sebagai contoh, bekerja sama dengan salah satu bank di
Singapura dan Malaysia untuk mensponsori event yang terkait dengan
kegiatan bersepeda. Dan satu hal lagi. “Pada dasarnya, Polygon memiliki
kemampuan memproduksi sepeda dengan kualitas baik, karena selama ini mereka
juga sebagai pemasok beberapa top brand sepeda di Eropa,” ungkapnya.
Nah, tantangan bagi Polygon saat ini adalah harus memperbanyak jenis medium yang digunakan untuk engage konsumennya. Tidak hanya mengandalkan nontradisional (street marketing through fun bike, kompetisi, dll.), tetapi juga mobile application yang berisikan aplikasi yang terkait dengan minat dan gaya hidup target pasarnya atau virtual activities melalui platform “second life”.
Nah, tantangan bagi Polygon saat ini adalah harus memperbanyak jenis medium yang digunakan untuk engage konsumennya. Tidak hanya mengandalkan nontradisional (street marketing through fun bike, kompetisi, dll.), tetapi juga mobile application yang berisikan aplikasi yang terkait dengan minat dan gaya hidup target pasarnya atau virtual activities melalui platform “second life”.
Pihak Polygon sendiri ke depan akan
lebih fokus untuk meningkatkan kualitas produknya, bukan kuantitas. “Saat ini,
kami tidak bicara kuantitas, tetapi lebih ke kualitas. Jadi, kami mengejar
kesempurnaan sebuah sepeda, bukan jumlahnya,” ungkap Ronny. Hal ini dilakukan
karena Polygon berambisi menjadi merek internasional yang memiliki kualitas
produk kelas dunia. Selain memberikan perhatian penuh pada masalah kualitas
produk, dalam waktu dekat Polygon juga akan membuka kantor cabangnya di AS
(California) dan negara-negara Eropa sehingga akan lebih mudah menggarap pasar
di tingkat global.(*)
pak apa ada pekerjaan buat saya
BalasHapus